01/05/15

HURUF-HURUF AKSARA DI INDONESIA


Subject            : Multimedia Systems
Lecturer          : LUHUR PIDEKSO ARIF, S.T.,
Faculty/Major : Computing/Information Systems

By               :
1.   Agatha Wahyu/0122013050061
2.   Arie Kurniawan/0122013050008
3.   Anwar Nugraha/0122013050001
4.   Dawson Jovi Pangestu/012201405078
5.   Fansiskus Octavianto/012201305016
6.   Ipan Herdiansyah/012201205047
7.   Muhammad Andres/012201305051
8.   Nessan/012201305024
9.   Rachma Oktari/012201305048
10.   Siti Aisyah Naili Mutia/012201305040



Jababeka Education park, Jl. Ki HajarDewantara, Telp. 62 21 891 097 62-63
Kota Jababeka, Bekasi 17550, Indonesia, www.president.ac.id

2015




HURUF-HURUF AKSARA DI INDONESIA

Nusa Tenggara Timur

Aksara Lota (Pulau Ende)

Pulau Ende menjadi salah satu tempat yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Soekarno beserta istri dan anak angkatnya, Inggit Garnasih dan Ratna Juami, sempat diasingkan oleh Belanda di pulau ini. Selain itu, Ende juga memiliki khazanah bahasa yang membanggakan. Orang Ende telah menciptakan pola tulisan dengan aksara Lota. Sayangnya, tidak banyak yang tahu tentang hal ini. Namun, berkat ketekunan Maria Matildis Banda, seorang ahli Filologi dari Universitas Udayana, Bali, aksara Lota dapat dipelajari dari buku ini. Bagi anda penikmat kajian filologi, tentu akan dimudahkan dengan adanya buku ini. Sebelumnya, pakar linguistik dan filologi bernama S Ross sudah menelitinya yang terangkum dalam bukunya Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores. 
Buku setebal 175 halaman itu mengupas secara detil analisis, terjemahan, dan teks asli dari aksara Lota yang dahulu banyak ditulis dengan media wunu koli (daun lontar). Penulis sangat menguasai kajian filologi teks-teks tradisional yang kurang banyak diminati oleh pengkaji bahasa di Indonesia ini.

Pengaruh Bugis     

Aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk ke wilayah Ende pada masa pemerintahan Raja Goa XIV I, Manggarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin (1593-1639), yang kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende. Lota berasal dari kata lontar, karena pada masa lampau, aksara ini diajarkan dan ditulis di daun lontar (wunu koli). Tulisan umumnya berupa doa, ajaran budi pekerti pada orangtua, petuah kehidupan, dan pesan kecintaan pada alam.
Aksara Lota telah menghiasi budayaan tulis dan kesusasteraan Ende tempo dulu. Gubahan syair dan lagu-lagu tradisional Ende yang sering dibacakan dan dinyanyikan dalam upacara ritual adat ditulis dalam aksara Lota ini. Dahulu, jika ada orang yang memiliki hajat mengkhitankan anaknya atau membangun rumah baru, kisah-kisah kehidupan yang ditulis dalam aksara Lota selalu dibacakan. Tujuannya agar masyarakat mengambil pelajaran dari kisah tersebut. Pembacaan ini juga dimaksudkan untuk mendidik masyarakat agar mencintai budaya leluhur.

Sepi Pembaca

Aksara Lota telah menyimpan banyak nilai sejarah kebudayaan Ende, mulai dari kesusasteraan hingga tatanan sosial masyarakat. Namun sayang, saat ini hanya tersisa sedikit orang Ende yang dapat membaca aksara Lota, baik pada generasi tua mereka apalagi muda. Tentu saja hal ini sangat memprihatinkan karena dengan hilangnya aksara Lota juga menyebabkan hilangnya kebudayaan sastra Ende.
Hilangnya aksara Lota dari kehidupan orang Ende diduga disebabkan karena beberapa faktor, antara lain banyak dari mereka yang dapat membaca sudah wafat namun tidak sempat menurunkan ilmunya ke generasi selanjutnya dan tidak adanya sanggar budaya atau proses belajar yang diselenggarakan oleh rumah adat. Selain itu, aksara Latin yang digunakan untuk sarana komunikasi sehari-hari menjadikan aksara Lota tergerus dari memori orang Ende. Mempelajari aksara Lota dirasakan sulit oleh generasi muda karena memerlukan kesabaran dan kekuatan hafalan, dan masuknya budaya modern yang mudah diakses.
Problematika di atas sebenarnya tidak hanya dialami oleh aksara Lota saja, hampir semua aksara kuno dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Sedikit peminat dan hanya dipergunakan dalam kondisi tertentu. Aksara Jawa, misalnya, hanya digunakan oleh kalangan dan pada waktu tertentu. Oleh karena itu, buku ini merupakan satu hal yang menggembirakan dan semoga menarik minat budaya lain untuk peduli terhadap aksara Lota.
(Yusuf Efendi/Res/79/09-2011)

Karakter Lota

Karakter Lota dieksplorasi oleh S. Roos, karakter Bugis dieksplorasi oleh Van Suchtelen, dan karakter Ende diselidiki oleh Maria Matildis Banda yang digunakan dalam penelitian ini disajikan sebagai berikut. Kemudian, karakter Bugis dibandingkan dengan karakter Ende. Di mana karakter Bugis yang disesuaikan dengan bahasa Ende membentuk karakter Ende.
Karakter lota Ende diambil dari S. Roos (1871).
(Suchtelen, 1921: 227).





Reference :

Kalimantan Barat

Aksara Dunging

Tahukah Anda kalau Borneo adalah satu-satunya bangsa (bangsa berbeda makna dengan negara) di Asia Tenggara yang memiliki aksara buatan?
Aksara buatan adalah suatu sistem penulisan yang secara khusus dirancang oleh seseorang atau kelompok tertentu, bukan aksara yang berkembang dari suatu bahasa atau budaya seperti aksara alami. Contoh aksara buatan yang paling terkenal adalah Hangul, yang diciptakan oleh Sejong yang Agung, Raja Dinasti Joseon pada waktu itu untuk menggantikan karakter Hanzi/Kanji pada Bahasa Korea.
Orang-orang sering mengatakan penduduk asal Borneo tidak memiliki sistem penulisan sendiri, jadi mereka menggunakan sistem penulisan dari luar seperti aksara Jawi atau Rumi (Latin). Tetapi pada kenyataannya, seorang dari kaum Iban yang bernama Dunging Gunggu (1904 - 1985), telah menciptakan sistem penulisan sendiri untuk Bahasa Iban. Sistem penulisan tersebut dinamakan aksara Turai. Sekarang aksara Turai memiliki 59 karakter. Aksara ini juga dikenal dengan nama aksara Dunging, untuk menghormati perancangnya.
Karena orang Iban berkerabat dekat dengan sejumlah kelompok etnis lain di Borneo, ada kemungkinan aksara Turai dapat juga digunakan pada bahasa-bahasa penduduk asal lain yang ada di Borneo.

Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara (Aksara Arab)

Bahasa Banjar (Jawi: بهاس بنجر) adalah sebuah bahasa Austronesia dari rumpun bahasa Melayik yang dipertuturkan oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia, sebagai bahasa ibu.Bahasa Banjar termasuk kelompok Bahasa Melayu Lokal Borneo Timur.
Bahasa Banjar termasuk dalam daftar bahasa dominan di Indonesia.
Di tanah asalnya di Kalimantan Selatan, bahasa Banjar yang merupakan bahasa sastra lisan terbagi menjadi dua dialek besar yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Sebelum dikenal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, pada zaman dahulu apabila berpidato, menulis atau mengarang orang Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar dengan menggunakan aksara Arab. Tulisan atau huruf yang digunakan umumnya huruf atau tulisan Arab gundul dengan bahasa tulis bahasa Melayu (versi Banjar). Semua naskah kuno yang ditulis dengan tangan seperti puisi, Syair Siti Zubaidah, syair Tajul Muluk, syair Burung Karuang, dan bahkan Hikayat Banjar dan Tutur Candi menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu (versi Banjar).
Bahasa Banjar dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Minangkabau, bahasa Betawi, bahasa Iban, dan lain-lain.




Kalimantan Timur

Aksara Pallawa atau kadangkala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan. Aksara ini sangat penting untuk sejarah di Indonesia karena aksara ini merupakan aksara dari mana aksara-aksara Nusantara diturunkan.
Di Nusantara bukti terawal adalah Prasasti Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Bukti tulisan terawal yang ada di Jawa Barat dan sekaligus pulau Jawa, yaitu Prasasti Tarumanagara yang berasal dari pertengahan abad ke-5, juga ditulis menggunakan aksara Pallawa.
Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah berkuasa di selatan India antara abad ke-4 sampai abad ke-9 Masehi. Dinasti Pallava adalah sebuah dinasti yang memeluk aliran Jainisme.

Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara Nusantara


Vokal


Konsonan

Contoh huruf konsonan aksara Pallawa. Urutan sesuai dengan aksara Brahmi. Varian pada huruf Kha dan Na murdania.



Reference :


Sulawesi Selatan

Aksara Lontara (Bugis)

Sejarah
Lahirnya karya bersejarah yang dibuat "Daeng Pamatte" bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis.


Maka Daeng Pamatte' pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang (burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta.

Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte' ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni "ha" sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).


Dari Lontara Jangang-Jangan ke Belah Ketupat


Jenis aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah Lontara Jangang-Jangang atau Lontara Toa. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, seperti burung yang sedang terbang dengan huruf "Ka" burung hendak turun ke tanah dengan huruf "Nga", bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf "Nga". Lontara Jangang-Jangan ini digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya. Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama Kerajaan Gowa, maka bentuk huruf pun berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf "ka" angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna "Ga" angka tujuh dengan titik diatas diberi makna "Nga", juga bilangan arab lainnya yang jumlahnya 18 huruf . Aksara Lontara ini disebut juga Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639). Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi lagi perubahan (penyederhanaan) dengan mengambil bentuk huruf dari Belah Ketupat.

Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Makassar itu menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut, huruf "Ha".


Dalam pada itu, dalam versi lain Mattulada berpendapat bahwa justeru Daeng Pamatte jugalah yang menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana adanya sekarang. Dari ke-19 huruf Lontara Makassar itulah, kemudian dalam perkembangannya untuk keperluan bahasa Bugis ditambahkan empat huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi menjadi 23 huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Bugis Makassar. 





Lontara Bugis merupakan aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Bentuk aksara lontara itu sendiri terinspirasi dan tersusun dari empat unsur yakni, angin, tanah, air, dan api yaitu "Sulapa Eppa". Sehingga bentuk huruf nya mayoritas menyerupai segi empat.

Ada yang berpendapat bahwa lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa (atau kadangkala ditulis Pallava, sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan). Aksara lontara ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk India, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallawa.



Sumber:

Sulawesi Barat

Aksara Lontar Mandar

Aksara Lontar tidak hanya dipakai di daerah bugis atau makassar tapi juga dipakai di daerah Mandar (Sulawesi Barat)sejak dahulu, ini dibuktikan dengan lontar-lontar dari zaman kerajaan-kerajan di Mandar memakai aksara Lontar.
Ada ketentuan khusus dalam membaca maupun menulis Aksara Lontar, pada aksara lontar tidak mengenal huruf mati yaitu :
  • apabila pada akhir kata yaitu N atau NG, maka harus dihilangkan/ditiadakan.
  • apabila pada akhir kata terdapat bukan huruf vokal, maka harus ditambahkan huruf vokal sesuai huruf vokal suku kata sebelumnya.
Contohnya : kata MANDAR, cara tulisnya menjadi MADARA.


Menurut situs wikipedia, jenis aksara ini adalah Abugida, yaitu aksara segmental yang didasarkan pada konsonan dengan notasi vokal yang diwajibkan tapi bersifat sekunder. Hal ini berbeda dengan alfabet yang vokalnya memiliki status sama dengan konsonan serta abjad yang penandaan vokalnya tidak ada atau manasuka (opsional).

Aksara Lontar terdiri dari 23 huruf utama (Konsonan), yaitu :



Dan untuk huruf vokalnya (kecuali vokal A), cukup dengan menambahkan tanda pada huruf utamanya, contoh untuk huruf KA :


Mari kita lihat kalimat Kalindaqdaq yang ditulis dalam bentuk Aksara Lontar berikut.


Untuk menambah huruf Aksara Lontara di Komputer anda agar bisa ketik Aksara Lontara misalnya di Microsoft Word, silahkan download (klik).
Kemudian copy paste ke  C:\WINDOWS\Fonts


Adapun cara penggunaan huruf ini :

Reference : http://kampung-mandar.web.id/artikel/aksara-lontar.html

 

Tidak ada komentar:

ADAPTIVE SOFTWARE DEVELOPMENT - GROUP 3